Di tengah gempuran budaya modern, TikTok, dan tren Korea, siapa sangka masih ada yang terpukau oleh gerak gagah Singo Barong dan lantunan gamelan Reog Ponorogo. Tarian ini bukan sekadar hiburan, melainkan simbol perlawanan, spiritualitas, dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun dari tanah Ponorogo, Jawa Timur. Namun kini, pertanyaannya adalah: Apakah Reog masih relevan di mata generasi milenial? Ataukah ia hanya menjadi artefak budaya yang perlahan dilupakan?
Reog bukan sekadar tarian. Ia adalah cerita. Konon, Reog berasal dari kisah perlawanan Ki Ageng Kutu terhadap kerajaan Majapahit yang mulai korup. Lewat simbolisasi dalam tarian Singo Barong, Warok, Jathil, hingga Bujang Ganong – Reog menyampaikan kritik politik secara halus namun kuat. Elemen mistis sangat kental dalam pertunjukan ini: Warok dianggap memiliki kekuatan spiritual, dan penari Singo Barong bisa membawa topeng seberat 50 kg hanya dengan gigi. Semua itu dilakukan dalam keadaan trance atau kesurupan. Hal inilah yang membuat Reog punya daya magis tersendiri.
Sayangnya, di tengah arus globalisasi, seni pertunjukan tradisional seperti Reog makin terpinggirkan. Banyak generasi muda yang lebih mengenal boyband Korea daripada cerita Bujang Ganong. Kostum mahal, latihan berat, dan kurangnya dukungan pemerintah membuat pelestarian Reog penuh tantangan. Beberapa komunitas seni berjuang menjaga napas Reog tetap hidup. Mereka tampil di festival budaya, sekolah, hingga membuat konten digital di TikTok dan YouTube. Tapi masih banyak yang harus dilakukan.
Banyak generasi muda yang mulai menyadari pentingnya identitas budaya. Mereka menggabungkan unsur Reog ke dalam fashion, musik remix, bahkan game lokal. Namun tidak sedikit pula yang menganggap Reog terlalu "jadul" dan "seram". Menurut salah satu milenial asal Ponorogo, “Dulu aku malu nonton Reog, takut dibilang kuno. Tapi sekarang, aku bangga, karena ini warisan budaya yang unik dan keren.” Saat ini Pelestarian Reog tak bisa mengandalkan cara lama. Diperlukan inovasi, yakni dengan cara Kolaborasi dengan seniman muda, Festival digital, Promosi di media sosial, dan dokumenter visual yang mengangkat kisah-kisah inspiratif dari para pelestari Reog. Dengan begitu, Reog bisa menjadi bagian dari gaya hidup milenial — bukan sekadar tontonan sesekali.
Kita harus menyadari dan ingat bahwa Reog Ponorogo adalah warisan bukan sekadar milik orang Ponorogo, tapi milik seluruh bangsa Indonesia. Ia adalah cerita yang dituturkan tanpa kata-kata, namun mampu menyampaikan makna yang dalam lewat hentakan kaki, gemuruh kendang, dan sorot mata para penarinya. Di balik topeng Singo Barong yang megah, tersimpan nilai tentang keberanian melawan ketidakadilan, tentang spiritualitas yang menyatu dengan gerakan, dan tentang cinta yang tulus terhadap tanah kelahiran.
Namun warisan ini tak akan bertahan hanya dengan kenangan. Ia butuh dijaga, dikenalkan kembali, dan diterjemahkan ke dalam bahasa zaman agar tetap hidup di tengah derasnya arus budaya asing yang terus membanjiri ruang-ruang digital kita. Reog tidak akan kehilangan maknanya jika dibawa ke layar TikTok, ke panggung-panggung internasional, atau ke mural-mural kota. Justru di sanalah kita bisa membuktikan bahwa budaya bukan barang museum melainkan denyut nadi dari sebuah bangsa.
Saat generasi muda mulai peduli dan terlibat aktif dalam pelestarian Reog tak hanya sebagai penonton, tapi juga sebagai pewaris dan pelaku maka Reog tak akan pernah redup. Ia akan terus menari, menembus batas waktu dan ruang. Bukan hanya di panggung tradisi yang megah, tetapi di hati kita semua, sebagai simbol bahwa kita masih punya jati diri. Dan selama itu terjadi, Reog bukan sekadar pertunjukan, melainkan perlawanan yang abadi dalam bentuk seni.