Rabu, 03 Juli 2024

MENGAPA SEORANG BIKSU HARUS TETAP MELAJANG - TIBET


    Tibet terletak di dataran tinggi Himalaya di Asia Tengah, Dimana Tibet Utara berada di bawah pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok sejak tahun 1951. Wilayah ini memiliki lanskap yang spektakuler, dengan memiliki puncak-puncak gunung tertinggi di dunia seperti Gunung Everest. Tibet merupakan pusat agama Buddha Tibetan, yang memiliki tradisi spiritual yang khas. Ajaran Buddhisme Tibet dikenal dengan praktik meditasi yang mendalam, ritual, dan penghormatan terhadap Dalai Lama sebagai pemimpin spiritual tertinggi.

    Biksu adalah sebutan dalam agama Buddha untuk para pria yang telah mengambil sumpah sebagai penganut Buddha dan mengabdikan hidup mereka untuk praktik spiritual dan pemahaman mendalam terhadap ajaran Buddha. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai "biarawan" atau "rahis" dalam bahasa Indonesia. Secara tradisional, seorang biksu menjalani kehidupan berdasarkan aturan Vinaya, yaitu serangkaian peraturan dan disiplin yang mengatur berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk tata cara makan, pakaian, tempat tinggal, dan interaksi dengan masyarakat. Mereka menghabiskan waktu untuk meditasi, studi ajaran Buddha, serta memberikan pengajaran dan bimbingan kepada umat. Dalam konteks budaya dan agama Buddha, status biksu dihormati sebagai contoh ideal dari kesucian dan dedikasi spiritual.

    Kehidupan biksu di Tibet sangat terkait dengan tradisi agama Buddha Tibetan yang kaya dan unik. Komunitas biksu di Tibet terdiri dari para biarawan yang tinggal di biara-biara atau vihara-vihara. Biara-biara ini sering kali menjadi pusat kegiatan spiritual dan pendidikan bagi biksu-biksu tersebut. Biksu-biksu di Tibet hidup berdasarkan aturan Vinaya. Mereka mengikuti rutinitas harian yang terstruktur, termasuk meditasi, belajar ajaran Buddha, dan melakukan ritual keagamaan. Sebagian besar biksu-biksu Tibet menghabiskan waktu mereka untuk mempelajari ajaran Buddha dan filosofi agama. Mereka juga sering berperan sebagai pengajar bagi umat atau murid-murid yang tertarik untuk belajar lebih dalam tentang agama dan praktik spiritual.

    Tradisi agama Buddha Tibetan mengajarkan pentingnya pemberian (dana) sebagai praktik spiritual. Sebagai bagian dari kehidupan mereka, biksu-biksu menerima dukungan dari umat dalam bentuk makanan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Biksu-biksu di Tibet sangat dihormati dan dianggap sebagai simbol kebijaksanaan dan kesucian dalam masyarakat. Mereka berperan penting dalam menjaga dan meneruskan tradisi dan kebudayaan Tibet, termasuk melalui upacara keagamaan dan ritual yang diadakan untuk masyarakat.

    Alasan utama mengapa biksu dalam tradisi agama Buddha harus tetap melajang berkaitan erat dengan prinsip-prinsip spiritual dan disiplin yang dianut dalam agama tersebut. Sebagai seorang biksu, fokus utamanya adalah mencapai pemahaman mendalam terhadap ajaran Buddha dan mencapai pencerahan atau kebijaksanaan spiritual. Menjaga kehidupan yang sederhana dan tidak terikat dalam hubungan romantis atau perkawinan dianggap sebagai cara untuk membebaskan diri dari distraksi-distraksi dunia yang dapat menghalangi pencapaian tujuan spiritual. Dalam ajaran Buddha, kehidupan keluarga dan ikatan-ikatan dunia dilihat sebagai penghambat menuju pembebasan atau nirwana. Melalui praktik pemurnian diri ini, seorang biksu berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan materi dan emosional yang dapat mempengaruhi kesadaran spiritualnya. Di dalam Aturan Vinaya, yang merupakan serangkaian peraturan dan tata tertib yang diikuti oleh biksu, mengatur larangan terhadap perkawinan atau hubungan romantis. Hal Ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan integritas spiritual dari para biksu serta mencegah potensi konflik atau kecenderungan materialisme yang dapat muncul dalam hubungan pribadi. Dalam masyarakat Buddha, biksu-biksu dihormati sebagai contoh ideal dari kesucian dan dedikasi spiritual. Dengan menunjukkan bahwa kehidupan yang dilatih dan disiplin dapat membawa kedamaian batin dan pemahaman yang lebih dalam terhadap kebenaran universal.

    Pada intinya dalam pandangan Buddha, kehidupan berkeluarga atau terikat pada hubungan romantis membawa risiko akan penderitaan dan kesengsaraan, baik bagi individu maupun bagi orang-orang terdekatnya. Dengan tetap melajang, seorang biksu diyakini dapat menghindari penderitaan-penderitaan ini dan fokus sepenuhnya pada perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, keputusan untuk tetap melajang sebagai seorang biksu tidak hanya didasarkan pada aturan atau tradisi semata, tetapi juga berasal dari pemahaman mendalam tentang jalur spiritual yang ditempuh dalam tradisi agama Buddha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar