Christian Dior, atau yang lebih dikenal sebagai Dior, adalah salah satu rumah mode paling ikonik di dunia. Didirikan pada tahun 1946 oleh desainer legendaris Christian Dior di Paris, brand ini telah menjadi simbol kemewahan, keanggunan, dan cita rasa tinggi dalam dunia fashion. Koleksi haute couture, tas tangan seperti Lady Dior, hingga parfum legendaris seperti J'adore dan Miss Dior menjadi incaran para pecinta mode dari seluruh dunia. Namun, di balik gemerlap catwalk, kampanye iklan yang memukau, serta label harga selangit, tersimpan kisah buram yang jarang diketahui publik: praktik eksploitasi tenaga kerja yang menyelimuti proses produksi barang-barang mewah tersebut.
Banyak konsumen mengira bahwa barang mewah seperti tas Dior dibuat secara eksklusif di Eropa oleh tangan-tangan artisan terampil. Kenyataannya, sebagian besar proses produksi dilakukan di negara-negara berkembang, termasuk India dan China, tempat di mana upah minimum masih jauh dari standar layak, dan perlindungan hak pekerja sangat minim.
Pada tahun 2023, beberapa laporan investigatif mengungkap bahwa Dior dan beberapa brand di bawah naungan grup LVMH menggunakan jasa subkontraktor yang mempekerjakan buruh dengan bayaran sangat rendah, jam kerja panjang, dan kondisi kerja yang buruk. Bahkan, ada laporan tentang pekerja anak dan buruh migran tanpa dokumen yang dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi. Eksploitasi ini tidak dilakukan secara langsung oleh Dior, melainkan melalui rantai produksi yang kompleks dan sulit dilacak. Perusahaan fashion seperti Dior biasanya bekerja sama dengan pemasok atau subkontraktor yang pada gilirannya menyewa perusahaan lokal di negara berkembang. Di sinilah sering kali terjadi pelanggaran hak buruh. Beberapa metode eksploitasi yang umum dilaporkan antara lain:
- Upah Di Bawah Standar Banyak buruh yang hanya dibayar sekitar 1-2 dolar per jam, jauh di bawah standar hidup layak. Bahkan untuk produk yang dijual ribuan dolar, para buruh hanya menerima sebagian kecil dari nilai jualnya.
- Jam Kerja Panjang dan Lembur Paksa Buruh dihadapkan pada jam kerja hingga 14-16 jam sehari, dengan waktu istirahat minim. Lembur sering kali diwajibkan tanpa bayaran tambahan.
- Kondisi Tempat Kerja Tidak Aman Banyak pabrik bekerja tanpa memperhatikan standar keselamatan, tidak memiliki ventilasi memadai, minim alat pelindung diri, dan rawan kecelakaan kerja.
- Pekerja Anak dan Migran Beberapa pabrik menggunakan pekerja anak di bawah umur dan buruh migran yang tidak memiliki perlindungan hukum, membuat mereka rentan terhadap kekerasan dan intimidasi.
Sebagai bagian dari grup LVMH—konglomerat barang mewah terbesar di dunia—Dior memiliki tanggung jawab besar terhadap etika dalam bisnis. LVMH memang memiliki kode etik dan kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), namun implementasi di lapangan seringkali tidak sesuai dengan apa yang tertulis di atas kertas. Aktivis dan organisasi buruh menyuarakan bahwa perusahaan besar seperti Dior harus lebih transparan mengenai rantai pasokan mereka dan memastikan bahwa mitra kerja mereka tidak melanggar hak asasi manusia. Namun hingga kini, upaya audit independen dan transparansi laporan masih minim dan sering ditolak dengan alasan "rahasia dagang".
Kini, banyak konsumen mulai sadar akan pentingnya ethical fashion—fashion yang memerhatikan hak buruh, dampak lingkungan, dan keberlanjutan. Namun ironisnya, brand seperti Dior masih mampu menjaga citra “anggun dan bertanggung jawab” meskipun dilaporkan melakukan pelanggaran serius terhadap hak pekerja. Beberapa brand fast fashion telah mulai diboikot karena praktik serupa, namun rumah mode mewah seperti Dior tampaknya lebih kebal terhadap tekanan publik. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh branding dalam menutupi realitas industri yang kelam. Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Pilih brand yang transparan tentang rantai pasokannya dan memiliki sertifikasi etis.
- Dukung slow fashion dan produk lokal yang mengedepankan keadilan bagi pekerja.
- Sebarkan informasi tentang praktik tidak manusiawi di balik kemewahan brand besar.
- Desak regulasi internasional agar brand global bertanggung jawab terhadap seluruh rantai pasokannya.
Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang arti dari “kemewahan”. Kemewahan sejati bukan hanya tentang harga tinggi atau nama besar, tetapi tentang bagaimana sebuah produk dibuat: apakah dengan keadilan, penghormatan terhadap manusia, dan kepedulian terhadap lingkungan?. Jika Dior benar ingin mempertahankan reputasinya sebagai simbol elegansi dan kemewahan, maka ia harus mulai dari hal yang paling mendasar: menghargai manusia yang membuat kemewahan itu menjadi nyata.
Bagus sekali
BalasHapus