Senin, 14 April 2025

Dibalik Pesona Wakatobi: Suara Kekecewaan Sang Kepala Desa yang Terabaikan


Terletak di tenggara Sulawesi, Wakatobi merupakan salah satu destinasi wisata bahari unggulan Indonesia. Kabupaten yang merupakan singkatan dari nama-nama pulau besar di dalamnya ; Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko ini dikenal dunia sebagai surga bawah laut yang tak tertandingi. Wakatobi menjadi bagian dari kawasan segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle), menjadikannya lokasi yang ideal bagi penyelam dan pecinta laut dari seluruh penjuru bumi.


Lebih dari 750 spesies karang dan lebih dari 942 jenis ikan hidup di perairan Wakatobi. Lautannya begitu jernih, memungkinkan siapa pun menyaksikan kemegahan ekosistem bawah laut hanya dari permukaan. Namun bukan hanya kekayaan bahari yang menjadikan Wakatobi istimewa. Masyarakat lokal yang ramah, budaya yang masih terjaga, serta upaya pelestarian lingkungan yang dijalankan secara kearifan lokal, menjadikan daerah ini sebagai model pariwisata berkelanjutan.


Wakatobi juga memiliki kekayaan budaya takbenda, mulai dari tari-tarian tradisional seperti Lariangi dan Lariangi Kolosal, sampai seni menenun khas Kaledupa. Potensi pertanian dan perikanan juga menjadi penopang ekonomi masyarakat, yang hidup harmonis di tengah kemegahan alam. Namun, di balik keindahan tersebut, tersimpan cerita lain yang tak kalah penting untuk didengar. Cerita tentang suara-suara dari pelosok desa yang kerap kali tak terdengar, termasuk dari para pemimpin desa yang merasa diabaikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah di atasnya.


Salah satu kepala desa di Kabupaten Wakatobi, sebut saja Kepala Desa T*, menyuarakan kekecewaannya kepada media lokal dan tokoh masyarakat. Kekecewaan ini muncul bukan tanpa alasan. Menurut pengakuannya, banyak usulan pembangunan dan pemberdayaan yang sudah bertahun-tahun diajukan, namun tak kunjung mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah maupun pusat. “Kami tidak menuntut yang muluk-muluk. Hanya ingin masyarakat kami punya jalan desa yang layak, air bersih yang memadai, dan bantuan pertanian serta nelayan yang tepat sasaran,” ucap beliau dalam sebuah forum terbuka desa.


Dalam kesempatan tersebut, ia mengungkapkan bahwa meski Wakatobi begitu dikenal karena keindahan dan potensi pariwisatanya, namun banyak desa-desa kecil di pulau-pulau luar yang tidak mendapatkan sentuhan pembangunan. Akses transportasi laut yang terbatas, sinyal komunikasi yang tidak stabil, hingga sulitnya distribusi logistik menjadi persoalan klasik yang belum juga terselesaikan. Ironisnya, menurut sang kades, saat musim kunjungan wisata meningkat, masyarakat setempat hanya menjadi pelengkap eksotisme yang dijual kepada turis. Mereka tidak benar-benar dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan strategis, terutama menyangkut proyek-proyek pariwisata berskala besar.


Ketika tamu datang, kami disuruh sambut, gelar budaya, dan jaga kebersihan. Tapi saat kami butuh jalan rusak diperbaiki atau bantuan pendidikan untuk anak-anak, suara kami menguap begitu saja,” lanjutnya. Lebih menyakitkan lagi, beberapa program bantuan pemerintah justru lebih sering jatuh ke tangan yang tidak tepat, entah karena kedekatan politik atau permainan birokrasi. Program bantuan nelayan yang semestinya menyentuh para pelaut tradisional justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang hanya mengaku-ngaku sebagai nelayan demi mendapatkan bantuan.


Hal ini menurut sang kepala desa telah memicu ketidakadilan sosial di tingkat akar rumput. Bahkan, beberapa warganya yang aktif dan jujur dalam menyampaikan aspirasi, mulai enggan terlibat karena merasa suara mereka tak berdampak apa-apa. Meski kecewa, Kepala Desa T* tetap menaruh harapan. Ia percaya bahwa perubahan bisa terjadi jika suara dari bawah didengar. Ia berharap pemerintah daerah dan pusat mulai menata ulang skema pembangunan agar lebih berpihak pada masyarakat desa. “Wakatobi ini milik kita bersama. Kalau cuma elitenya yang menikmati hasil, dan rakyat kecil hanya jadi penonton, maka pembangunan itu tak punya makna,” tegasnya.


Ia juga mengajak kepala desa lainnya untuk bersatu dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Menurutnya, kepala desa harus menjadi penyambung lidah rakyat, bukan hanya pemegang jabatan seremonial yang tunduk pada atasan tanpa bisa membela kepentingan warganya. Cerita ini menjadi pengingat bahwa di balik pesona Wakatobi yang mendunia, masih ada suara-suara yang terpendam. Suara dari para pemimpin lokal yang berjuang dengan segala keterbatasan untuk mengangkat martabat warganya. Sebagai bangsa yang besar, sudah saatnya kita mendengar lebih jujur dan lebih dalam. Agar keindahan Wakatobi tak hanya tampak di brosur dan foto-foto promosi, tapi juga tercermin dalam kualitas hidup masyarakatnya.


2 komentar: