El Salvador, sebuah negara kecil di Amerika Tengah yang selama bertahun-tahun bergulat dengan kekerasan geng dan tingkat kriminalitas tinggi, kembali menjadi sorotan dunia. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Nayib Bukele baru-baru ini mengumumkan kebijakan kontroversial: narapidana harus bekerja untuk bisa makan. Kebijakan ini dianggap radikal oleh sebagian pihak, namun bagi pemerintah, ini adalah langkah logis untuk mereformasi sistem pemasyarakatan dan mengurangi beban negara.
Selama beberapa dekade, El Salvador terkenal sebagai salah satu negara paling berbahaya di dunia. Geng kriminal seperti MS-13 dan Barrio 18 telah mendominasi wilayah urban dan mempengaruhi kehidupan jutaan warga. Pemerintahan Nayib Bukele sejak tahun 2019 meluncurkan kebijakan "war on gangs", yang secara masif menangkap dan memenjarakan puluhan ribu tersangka anggota geng. Hingga awal 2025, lebih dari 75.000 orang telah ditahan dalam kampanye besar ini. Hal ini menyebabkan penjara di El Salvador menjadi sangat penuh sesak, dengan jumlah napi yang jauh melebihi kapasitas. Dengan membengkaknya biaya operasional penjara, termasuk makanan, kesehatan, dan keamanan, pemerintah mulai mencari cara untuk membuat sistem yang lebih berkelanjutan. Maka muncullah kebijakan baru: narapidana harus bekerja jika ingin mendapatkan makanan.
Kebijakan ini secara sederhana menetapkan bahwa makanan hanya akan diberikan kepada narapidana yang bersedia melakukan pekerjaan yang ditentukan oleh otoritas penjara. Bentuk pekerjaannya beragam, mulai dari membersihkan fasilitas umum, membuat furnitur, menjahit seragam, hingga mengolah lahan pertanian. Para napi yang bekerja akan diberi jatah makan tiga kali sehari. Sementara mereka yang menolak, hanya akan diberi jatah makan yang sangat minimal atau bahkan tidak sama sekali—sebuah pendekatan yang dinilai ekstrem oleh para pengamat HAM.
Menurut Menteri Keamanan El Salvador, kebijakan ini bertujuan mendisiplinkan napi, menanamkan rasa tanggung jawab, dan menjadikan penjara sebagai tempat rehabilitasi, bukan sekadar tempat penahanan. Kebijakan ini menimbulkan gelombang reaksi, baik di dalam negeri maupun secara internasional. Pendukung kebijakan berpendapat bahwa ini adalah langkah efektif untuk mengurangi beban negara. Mereka melihatnya sebagai bentuk keadilan: "Jika Anda telah melukai masyarakat, maka Anda harus bekerja untuk menebusnya, bukan hanya duduk dan makan dari pajak rakyat," ujar salah satu warga di ibu kota, San Salvador.
Namun, kritikus dan organisasi HAM mengecam keras. Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut kebijakan ini sebagai bentuk kerja paksa yang melanggar hak dasar manusia. Mereka menekankan bahwa sekalipun seseorang dipenjara, mereka tetap memiliki hak atas makanan dan perawatan dasar. Sejumlah negara Eropa bahkan mengancam untuk memutus bantuan kemanusiaan dan kerja sama bilateral dengan El Salvador jika kebijakan ini tidak dikaji ulang.
Sejak diberlakukan, kebijakan ini telah mengubah wajah penjara di El Salvador. Salah satu contohnya adalah Centro de Confinamiento del Terrorismo (CECOT)—penjara terbesar di negara itu yang kini beroperasi hampir seperti pabrik raksasa. Ribuan narapidana tampak bekerja dalam formasi teratur, mengenakan seragam khusus, diawasi ketat oleh aparat bersenjata. Mereka membuat batu bata, menjahit pakaian, membersihkan lingkungan, dan membangun fasilitas umum. Produk hasil kerja napi ini sebagian besar digunakan untuk keperluan negara, dan sebagian lainnya dijual ke publik dengan harga murah.
Pemerintah menyatakan bahwa hasil produksi ini bisa membantu pembiayaan sistem pemasyarakatan dan bahkan memberikan kontribusi pada perekonomian negara. Meski kebijakan ini memiliki sisi positif dari segi efisiensi dan pemanfaatan tenaga kerja napi, banyak pihak mempertanyakan aspek etikanya. Apakah pantas manusia dipaksa bekerja untuk mendapatkan makanan? Apakah ini bukan bentuk eksploitasi terselubung?
Menurut pakar hukum internasional, kerja di penjara sah-sah saja selama dilakukan secara sukarela dan memberikan kompensasi yang layak. Namun dalam kasus El Salvador, narapidana bekerja di bawah tekanan kebutuhan dasar: kelaparan. Selain itu, belum ada sistem upah atau penghargaan yang jelas bagi para napi yang bekerja. Ini memperkuat tudingan bahwa kebijakan ini lebih mendekati bentuk kerja paksa ketimbang program rehabilitasi. Meski menuai kontroversi, kebijakan ini mendapat perhatian dari sejumlah negara lain yang menghadapi masalah kelebihan populasi napi dan kekurangan dana operasional. Negara-negara seperti Honduras dan Guatemala disebut-sebut sedang mengkaji kemungkinan menerapkan model serupa.
Di sisi lain, masyarakat sipil di El Salvador mulai menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa menjadi alat represi politik. Beberapa aktivis khawatir, jika sistem ini diterapkan secara luas tanpa pengawasan, maka siapa pun yang berbeda pandangan politik bisa dijebloskan ke penjara dan dipaksa bekerja demi kepentingan negara.
Kebijakan "bekerja untuk makan" di El Salvador menunjukkan bagaimana pemerintah bersedia mengambil langkah ekstrem demi menyelamatkan sistem penjara yang kolaps. Bagi sebagian pihak, ini adalah bentuk keberanian dalam melakukan reformasi. Bagi yang lain, ini adalah alarm bahaya yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia. Yang jelas, dunia sedang mengawasi. El Salvador kini berada di persimpangan: apakah kebijakan ini akan membuka jalan menuju sistem pemasyarakatan yang lebih produktif, atau justru menjadi simbol baru otoritarianisme yang membungkus dirinya dalam narasi efisiensi?
No comments:
Post a Comment