Monday, April 21, 2025

Perang Dagang China-AS: Bukan Sekadar Tarif, Tapi Siapa yang Menulis Masa Depan Dunia

 


Ketika Presiden Donald Trump memutuskan untuk menaikkan tarif atas ratusan miliar dolar produk China pada tahun 2018, dunia dibuat gempar. Media menyebutnya "perang dagang terbesar abad ini". Tapi sesungguhnya, di balik langkah-langkah ekonomi yang tampak teknokratis itu, tersimpan tujuan yang jauh lebih besar yakni memperebutkan masa depan dunia. Perang dagang antara China dan Amerika bukan hanya tentang angka. Ini tentang kekuatan, dominasi, dan narasi siapa yang akan memimpin tatanan dunia baru. Apakah itu negara liberal dengan ekonomi terbuka seperti Amerika, atau negara otoriter dengan kontrol sentral seperti China ?


Presiden Trump melihat bahwa Amerika Serikat sudah terlalu lama menjadi "korban" dalam sistem perdagangan global yang ia nilai tidak adil. Salah satu musuh utamanya adalah China, negara yang dalam dua dekade terakhir menjelma dari ekonomi berkembang menjadi pesaing superpower ekonomi. Trump menyoroti beberapa hal:

  1. Amerika mengimpor jauh lebih banyak dari China daripada sebaliknya. Artinya Amerika defisit perdagangan
  2. Amerika merasa terjadi pencurian teknologi. Dimana perusahaan Amerika kerap dipaksa menyerahkan teknologi demi bisa masuk pasar China.
  3. Adanya subsidi BUMN China, Amerika merasa persaingan tidak sehat karena perusahaan China didukung negara.
  4. Terdapat Manipulasi mata uang. China dituduh sengaja menurunkan nilai mata uangnya agar produk mereka tetap murah di pasar global.


Dengan dalih "America First", Trump memulai kebijakan keras terhadap China  dengan cara menaikkan tarif impor, melarang teknologi China (seperti Huawei dan TikTok), dan mengguncang pasar global. Sebenarnya Mudah untuk menyangka perang dagang ini hanya soal ekonomi. Namun jika kita melihat lebih dalam, ada tujuan-tujuan strategis yang menjadi fondasi konflik ini:


1. Mengurangi Ketergantungan pada China

Trump ingin agar pabrik-pabrik Amerika kembali berdiri di tanah Amerika. Ia ingin agar produk-produk strategis seperti chip semikonduktor, peralatan medis, dan bahan baku industri tidak lagi bergantung pada China. Pandemi COVID-19 memperkuat argumen ini.


2. Menekan China Agar Bermain Adil

Lewat tekanan tarif, Amerika ingin memaksa China untuk mengubah model ekonominya dengan tidak lagi memaksa transfer teknologi, lebih terbuka terhadap investasi asing, dan menghentikan praktik monopoli.


3. Menciptakan Tatanan Ekonomi Baru

Di era globalisasi, Amerika ingin menulis ulang aturan main perdagangan internasional. Tujuannya bukan cuma menyeimbangkan ekspor-impor, tapi memastikan tatanan ekonomi dunia tetap berpihak pada demokrasi dan keterbukaan pasar. Hal ini tentu saja membuat China tidak tinggal diam. Mereka juga membalas dengan tarif balasan terhadap produk-produk pertanian Amerika, menghentikan pembelian kedelai dan jagung, serta mengembangkan teknologi dalam negeri agar tak bergantung pada Amerika.


Saat ini China mulai mempercepat program "Made in China 2025", strategi besar untuk menguasai sektor teknologi tinggi seperti AI, robotik, dan energi bersih. Dunia menyaksikan bahwa perang ini tak hanya membuat dua negara saling menghukum, tapi juga saling memperkuat diri. Sulit menentukan siapa yang benar-benar menang. Kedua negara mengalami kerugian ekonomi. Perusahaan-perusahaan multinasional terkena dampak. Harga barang naik. Rantai pasok global terguncang.


Namun satu hal yang pasti adalah dunia berubah. Banyak negara mulai meninjau ulang ketergantungannya pada China, dan di sisi lain, China makin memperkuat kemampuannya berdiri sendiri. Amerika pun kini lebih berhati-hati dalam membuka diri terhadap teknologi asing. Walau Trump sudah lengser, jejak perang dagang masih terasa. Di era Biden, ketegangan tak mereda—hanya berubah strategi. Ini membuktikan bahwa perang dagang bukanlah konflik jangka pendek. Ia adalah bagian dari pertarungan jangka panjang: siapa yang akan memimpin abad ke-21?


China dan Amerika bukan hanya bertarung dalam tarif dan teknologi. Mereka bertarung dalam ideologi, narasi, dan masa depan dunia. Dan kita semua, baik sebagai negara kecil maupun individu biasa, berada di tengah panggung sejarah besar ini. Sebagai Informasi tambahan, Perang dagang antara Amerika Serikat dan China terjadi pada tahun 2018, dimulai saat Presiden Donald Trump secara resmi menaikkan tarif impor atas barang-barang dari China. Sebagai Garis waktu singkatnya:

  • Maret 2018: Trump mengumumkan tarif atas baja dan aluminium.
  • Juli 2018: Gelombang pertama tarif terhadap produk China senilai $34 miliar diberlakukan. China langsung membalas.
  • Sepanjang 2018–2019: Tarif saling balas terus berlangsung hingga mencakup ratusan miliar dolar produk.
  • Januari 2020: Kesepakatan dagang tahap pertama (Phase One Trade Deal) ditandatangani, namun tidak menyelesaikan masalah mendasar.

Jadi, tahun 2025 bukan waktu terjadinya, melainkan bisa jadi tahun kelanjutan dampak dan ketegangan yang tersisa. Pemerintahan setelah Trump (termasuk Joe Biden) tetap melanjutkan tekanan ekonomi terhadap China, namun dengan pendekatan berbeda.



No comments:

Post a Comment