Isu kesehatan masyarakat kembali menjadi sorotan nasional seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang memuat berbagai pasal penting, salah satunya terkait zonasi penjualan rokok. Pemerintah dan DPR mengklaim aturan ini sebagai upaya melindungi generasi muda dari bahaya adiksi nikotin. Namun, di sisi lain, muncul pula pro dan kontra dari berbagai kalangan, mulai dari industri rokok, pelaku UMKM, hingga masyarakat umum. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan zonasi penjualan rokok dalam RUU Kesehatan? Bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan industri? Dan apakah kebijakan ini benar-benar efektif menekan angka perokok di Indonesia?
Zonasi penjualan rokok merupakan pembatasan wilayah atau area tertentu yang diizinkan untuk menjual produk tembakau. Dalam RUU Kesehatan yang sedang dibahas, pemerintah mengusulkan agar penjualan rokok hanya boleh dilakukan di tempat-tempat yang telah ditentukan, dengan kriteria yang ketat. Ini berarti:
- Rokok tidak boleh dijual di dekat sekolah, rumah sakit, rumah ibadah, taman bermain, atau tempat umum lain yang rawan dikunjungi anak-anak.
- Penjual harus memiliki izin khusus dan tidak boleh menampilkan produk rokok secara terbuka.
- Pelanggaran terhadap aturan zonasi ini akan dikenakan sanksi administratif hingga pidana.
Salah satu alasan utama diberlakukannya zonasi penjualan rokok adalah meningkatnya jumlah perokok pemula di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi perokok usia 10–18 tahun naik dari 7,2% menjadi 9,1%. Fakta ini tentu mengkhawatirkan, mengingat nikotin dalam rokok sangat adiktif dan dapat merusak perkembangan otak pada remaja.
Dengan adanya zonasi, pemerintah berharap akses terhadap rokok akan semakin sulit, terutama bagi anak-anak dan remaja. Sehingga dalam jangka panjang, angka perokok pemula dapat ditekan dan masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya gaya hidup sehat. Meski tujuan zonasi terlihat mulia, implementasinya menimbulkan kekhawatiran besar, khususnya bagi pedagang kecil dan pelaku UMKM. Di Indonesia, rokok merupakan salah satu produk yang banyak dijual di warung dan toko kelontong. Bahkan, sebagian besar pedagang menggantungkan penghasilan harian mereka dari penjualan rokok.
Jika zonasi diberlakukan secara ketat, ribuan pedagang berisiko kehilangan sumber pendapatan mereka. Apalagi jika lokasi usaha mereka ternyata masuk dalam kawasan larangan zonasi. Menurut Asosiasi Pedagang Kecil Indonesia (APKINDO), kontribusi penjualan rokok terhadap pendapatan warung bisa mencapai 30–50%. Tanpa kompensasi atau strategi transisi yang jelas, kebijakan zonasi bisa menimbulkan gejolak ekonomi kecil-kecilan di tingkat masyarakat bawah.
Indonesia adalah salah satu negara dengan industri rokok terbesar di dunia. Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja, dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga distributor dan pengecer. Tidak heran jika setiap regulasi yang membatasi ruang gerak industri rokok selalu menimbulkan kontroversi. Pemerintah memang punya tugas untuk melindungi kesehatan masyarakat. Namun, di sisi lain, industri rokok juga merupakan penyumbang besar terhadap pendapatan negara melalui cukai. Pada tahun 2023, penerimaan negara dari cukai rokok diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 triliun.
Zonasi penjualan rokok dikhawatirkan akan memengaruhi distribusi produk secara signifikan, terutama bagi rokok legal. Ketika akses produk legal dibatasi, bukan tidak mungkin akan muncul pasar gelap atau rokok ilegal yang justru lebih sulit dikontrol. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan serupa dengan berbagai tingkat keberhasilan. Misalnya:
- Australia telah menerapkan pelarangan iklan, pembatasan tempat penjualan, dan kemasan polos untuk rokok. Hasilnya, prevalensi merokok di negara tersebut menurun drastis dalam dua dekade terakhir.
- Singapura bahkan melarang penjualan rokok elektrik dan menerapkan zona bebas rokok yang luas, termasuk di dalam apartemen dan taman umum.
- Filipina dan Thailand juga memiliki aturan ketat mengenai jarak penjualan rokok dari sekolah dan tempat ibadah.
Namun, penting dicatat bahwa efektivitas kebijakan zonasi sangat tergantung pada penegakan hukum dan kesadaran masyarakat. Tanpa pengawasan yang baik, kebijakan ini hanya akan menjadi aturan di atas kertas. Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam menerapkan zonasi penjualan rokok, antara lain:
- Luasnya Wilayah dan Padatnya Penduduk : Sulit untuk memetakan dan mengawasi seluruh area yang masuk dalam zona larangan penjualan, terutama di daerah padat penduduk.
- Kurangnya Tenaga Pengawas : Petugas pengawasan dari dinas kesehatan atau satpol PP seringkali kewalahan dalam mengawasi regulasi lain, apalagi ditambah tugas baru untuk mengawasi zonasi penjualan rokok.
- Ketimpangan Informasi : Tidak semua pedagang memahami aturan baru ini, terutama di daerah pelosok yang akses terhadap informasi masih terbatas.
- Penolakan dari Komunitas : Sebagian masyarakat masih menganggap merokok adalah hak individu, sehingga ada kemungkinan timbul resistensi terhadap pembatasan akses.
Zonasi bisa menjadi langkah awal yang baik, tetapi tidak cukup hanya dengan membatasi tempat penjualan. Edukasi yang berkelanjutan tentang bahaya merokok dan promosi gaya hidup sehat harus terus digalakkan. Pemerintah juga bisa:
- Memberikan insentif atau kompensasi kepada pedagang kecil yang terkena dampak.
- Memfasilitasi alih usaha bagi warung-warung yang selama ini bergantung pada penjualan rokok.
- Menyediakan pelatihan keterampilan baru agar masyarakat bisa lebih mandiri secara ekonomi.
- Mengintegrasikan kebijakan zonasi ini dengan program peningkatan kesejahteraan masyarakat di sektor informal.
- RUU Kesehatan dengan pasal zonasi penjualan rokok menunjukkan bahwa pemerintah serius ingin menekan angka perokok, terutama pada kalangan usia muda. Namun, kebijakan ini harus diiringi dengan pendekatan yang holistik dan manusiawi.
Tanpa sosialisasi yang masif, dukungan ekonomi untuk pedagang kecil, serta penegakan hukum yang adil, kebijakan zonasi berisiko menimbulkan masalah baru. Dalam jangka panjang, sukses atau tidaknya kebijakan ini akan sangat ditentukan oleh seberapa siap pemerintah dan masyarakat menjalani transisi menuju pola hidup yang lebih sehat.
No comments:
Post a Comment